Sabtu, 13 November 2010

Dilema Pemekaran Wilayah

Salah satu paradigma pokok Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah mendorong proses demokratisasi sampai pada tingkat akar rumput. Pada saat yang bersamaan, sejak awal era otonomi daerah ditandai dengan lahirnya banyak sekali unit pemerintahan baru dari level propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, hingga desa/kelurahan. Asumsi yang dikembangkan adalah bahwa pembentukan wilayah memiliki korelasi positif dengan peningkatan kehidupan demokrasi masyarakat lokal.

Asumsi diatas sangatlah logis, sebab ketika terjadi pemekaran wilayah maka jangkauan teritorial secara otomatis menjadi semakin pendek/dekat, sementara jumlah penduduk yang harus dilayani semakin sedikit. Dengan demikian, unit pemerintahan tadi semestinya lebih mampu memberikan pelayanan secara maksimal. Sedangkan masyarakat memiliki akses lebih mudah/cepat terhadap proses pengambilan keputusan baik politis maupun administratif di wilayahnya.

Meskipun demikian, patut disadari bahwa logika diatas tidak selamanya bersifat linier. Artinya asumsi bahwa dengan semakin banyak pemekaran wilayah dan semakin besar jumlah unit pemerintahan, maka semakin baik kehidupan demokrasi, tidaklah berlaku mutlak. Hingga taraf tertentu, pembentukan daerah/wilayah baru yang kurang terkendali justru akan menghasilkan ketidakefektifan penyelenggaraan pemerintahan, disamping terhambatnya proses demokratisasi itu sendiri.

Diamond dan Tsalik (1999) memberi ilustrasi menarik tentang keterkaitan antara variabel ukuran negara/daerah/wilayah dan demokrasi. Menurut mereka, pada tahun 1998 hampir 75% negara yang berpenduduk dibawah satu juta jiwa merupakan negara demokratis. Sementara itu, kurang dari 60% negara dengan populasi diatas satu juta jiwa dikategorikan sebagai demokratis. Lebih ekstrem lagi, lima dari enam negara yang berpenduduk dibawah setengah juta cacah (microstate) adalah demokratis, dan lebih dari tiga perempatnya menerapkan demokrasi liberal. Dengan kata lain, jika kita menginginkan suatu negara atau daerah tetap demokratis, maka perlu diupayakan agar jumlah penduduk tidak berkembang secara dramatis.

Permasalahannya, hampir tidak ada satupun negara atau daerah yang tidak mengalami pertumbuhan penduduk. Bila demikian, maka terdapat dua opsi yang dapat ditempuh yaitu dengan pemekaran (membagi satu wilayah menjadi dua atau lebih) atau devolusi kekuasaan (baik dengan sistem federalisme maupun otonomi luas). Dalam negara yang diklasifikasikan microstate, baik pemekaran maupun devolusi/desentralisasi tidaklah diperlukan karena negara tersebut sudah sangat kecil. Namun, untuk negara besar seperti Indonesia, kedua opsi tadi menjadi pilihan kebijakan yang sangat populer. Dengan pola pikir seperti ini, tidaklah aneh jika kemudian muncul banyak aspirasi untuk membentuk daerah/wilayah baru yang alasan pembenarnya adalah mempercepat proses demokratisasi lokal.

Walaupun dapat diterima baik secara logis maupun teoritis, namun beberapa hal perlu dipertimbangkan secara matang sebelum diambil keputusan politik tentang pemekaran wilayah. Salah satunya adalah kemampuan daerah khususnya dibidang keuangan. Pemekaran wilayah khususnya di tingkat kecamatan, desa/kelurahan akan berimplikasi pada bertambahnya biaya operasional pemerintahan seperti gaji pegawai, perjalanan dinas, pengadaan perkantoran dan perlengkapannya, dan belanja rutin lainnya. Dalam ukuran kemampuan finansial, berlaku premis bahwa semakin rendah/kecil kemampuan suatu daerah maka semakin tinggi urgensi penggabungan dengan daerah lain, bukan sebaliknya. Artinya juga bahwa semakin tinggi kemampuan keuangan suatu daerah maka semakin layak daerah tersebut melakukan pemekaran terhadap unit-unit pemerintahannya, dan sebaliknya semakin kecil kemampuan keuangan maka semakin tidak layak pula bagi dari daerah tersebut dalam melakukan pemekaran terhadap unit-unit pemerintahan dibawahnya.

Mengingat tujuan pemekaran wilayah adalah antara lain ; peningkatan pelayanan kepada masyarakat, percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi, percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah, percepatan pengelolaan potensi daerah, dan peningkatan keamanan dan ketertiban, maka hendaknya pembentukan unit-unit pemerintahan baru harus dapat mewujudkan tujuan pemekaran tersebut. Tanpa itu, maka pemekaran wilayah hanya membebani keuangan daerah tanpa ada dampak nyata bagi kesejahteraan msyarakat. Hendaknya keuangan daerah yang dialokasikan bagi penambahan unit-unit pemerintahan baru berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat di wilayah yang dimekarkan. Tanpa ada perubahan yang lebih baik terhadap kesejahteraannya, maka pertanyaan yang selalu muncul dalam benak mereka adalah “Untuk Apa dan Untuk Siapa Pemerintah Itu Ada ?”. Untuk masyarakatkah, atau untuk diri mereka sendiri…

Sebagian tulisan ini disadur dari :
Salindeho, Eddy. S., 2004. Prospek Keuangan Daerah Kepulauan Sitaro, Studi Kasus Pemekaran Daerah Otonom, Rencana Pembentukan Kabupaten Kepulauan Sitaro di Provinsi Sulawesi Utara, Tesis, Tidak Dipublikasikan.

Minggu, 17 Oktober 2010

Desa Hancock

Desa Hancock adalah satu desa yang terletak di pedalaman negara bagian Massachusett AS. Secara geografis desa ini tidak jauh berbeda dengan desa-desa yang ada di daerah kita. Ia berada di bawah kaki Gunung Berkshires. Desa Hancock dibangun tahun 1783 oleh para perintisnya. Penduduk desa ini penganut ajaran-ajaran Gereja Quakers. Prinsip hidup masyarakat desa ini banyak dipengaruhi ajaran gerejanya yang antara lain “Berbahagialah orang yang miskin dihadapan Allah, sebab merekalah yang empunya kerajaan Surga”.

Kata “miskin” bagi mereka adalah “miskin dalam hati”. Maksudnya tidak mampu bertindak sendiri melainkan menantikan tindakan Tuhan. Jadi mereka tidak hanya memahami miskin dari sisi ekonomi semata, tetapi lebih sebagai suasana hati.
Keyakinan iman tentang miskin dalam hati itu, dijabarkan oleh penduduk Desa Hancock dalam berbagai gaya hidup. Mereka hidup sederhana, damai, dan bersih secara lahir batin. Mereka menjauhkan diri dari segala bentuk kekerasan dan pikiran atau perbuatan yang jahat. Mereka selalu bersedia menjadi sukarelawan kemanusiaan tanpa digaji. Karena itulah desa ini dijuluki “City of Peace” atau Desa Damai.

Di Desa Hancock gaya hidup sederhana, damai, dan bersih tampak nyata. Disini orang tidak banyak bicara namun banyak bekerja. Semboyan mereka adalah “Hands to work and hearts to God” atau Tangan Untuk Kerja dan Hati Untuk Tuhan.
Karena itu juga, mereka berhasil menemukan dan mengembangkan berbagai alat pertanian dan rumah tangga yang murah. Mereka menciptakan sistem irigasi dan mesin turbin yang digerakkan oleh air sungai. Mereka membuat meubel yang praktis. Mereka sangat kreatif dalam memanfaatkan sumber daya yang ada di sekitar mereka.

Penduduk Desa Hancock hidup sederhana bukan karena terpaksa. Mereka meyakini kerelaan hidup sederhana sebagai sebuah karunia dari Tuhan. Mau dan mampu hidup sederhana adalah sebuah karunia. Desa Hancock adalah Desa Kecil dengan Idealisme Besar. Mereka mengidealkan dunia yang damai sebagai perwujudan Kerajaan Allah. Untuk itu, mereka mulai dari diri sendiri dengan hidup sederhana, damai, dan murni.
Idealisme orang Hancock memang sulit terwujud. Namun itu bukan berarti hidup mereka sia-sia. Mereka sudah memulainya. Namun dunia sekitarnya berbeda. Inilah realitas. Desa Hancock adalah desa damai. Sampai saat inipun ia adalah legenda sejahtera. Tetapi dunia jauh lebih luas dari desa ini.

Pelajaran dari Desa Hancock ini patut kita petik. Walaupun kita dikelilingi oleh realitas yang lebih besar. Yang penting kita harus memulainya. Memulai hidup sederhana, memulai hidup damai, dan memulai hidup bersih.
Membangun desa memang cerita lama yang tak pernah habis-habisnya. Desa Hancock adalah salah satu cerita lama tentang bagaimana membangun desa. Memang yang diungkapkan diatas belum detail. Banyak hal yang perlu diungkapkan lebih rinci tentang desa ini. Tapi pelajaran yang penting adalah bangun desa dengan idealisme yang besar. Idealisme itu bisa didasari atas agama, budaya dan adat istiadat, nilai-nilai sosial, dan lain sebagainya. Tanpa ada cukup idealisme proses kemajuan desa tak akan sampai pada titik yang diharapkan.

Semoga akan muncul banyak Desa Hancock di daerah ini. Ayo bangun desa dengan idealisme yang besar..

Kamis, 25 Februari 2010

Strategi Kluster

Dalam bahasa sederhana kluster atau cluster berarti kelompok. Dalam konteks pembangunan, istilah kluster lebih merujuk pada aspek ekonomi. Menurut Porter dalam Sakuramoto (2004) cluster adalah sekelompok usaha dan lembaga terkait yang berdekatan secara geografis, memiliki kemiripan yang mendorong kompetisi serta juga bersifat complementaris. Kedekatan geografis ini pada tahap awal akan memacu kompetisi dan kemudian mendorong adanya spesialisasi dan peningkatan kualitas serta mendorong inovasi dan diferensiasi pasar. Jelas bahwa pengertian di atas lebih menekankan pada fenomena ekonomi, dan faktor kedekatan geografis menjadi ciri utama sebuah kluster. Ia dapat saja berbentuk sebuah kemiripan dalam konteks produksi, tapi juga dapat dipandang pada kemiripan-kemiripan lainnya asalkan memiliki kedekatan secara geografis.

Tidak ada batasan yang pasti mengenai kedekatan geografis dari kluster. Kluster dapat berupa sebuah kawasan tertentu, sebuah kota, sampai wilayah yang lebih luas. Bahkan menurut Porter (2000) kluster juga dapat berupa sebuah wilayah lintas negara seperti Southern Germany dengan wilayah Swiss yang berbahasa Jerman. Yang penting adalah bagaimanakah kriteria geografis bagi terbentuknya sebuah kluster. Menurut Hartarto (2004:37) kriteria geografisnya terletak pada apakah efisiensi ekonomi atas jarak tersebut ada dan mewujud serta menguntungkan atau tidak. Sebuah kluster tentunya harus memiliki karakteristik yang relatif sama, sehingga aktifitas internalnya akan lebih efisien karena memiliki kedekatan secara geografis. Schmitz dan Nadvi (1999) menulis bahwa kedekatan geografis mempermudah dalam menciptakan keterkaitan yang saling menguntungkan dalam sebuah kluster. Kluster mengandaikan manfaat ekonomis atas wilayah yang sama (economies of localization) sehingga kluster harus diarahkan sesuai karakteristik lokal.

Sebagai sebuah strategi maka clustering merujuk bahwa ia dibentuk secara sadar dan terorganisir. Clustering merujuk pada fenomena bahwa keping-keping tidak tersebar secara random tapi sengaja diorganisir dalam sebuah wilayah tertentu. Pembentukan kluster dilandasi atas kepentingan-kepentingan tertentu, yang pada umumnya diarahkan untuk kemajuan suatu wilayah dari sisi ekonomi. Lima kluster kepulauan yang telah dibentuk Pemerintah Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro yakni kluster Siau, kluster Tagulandang, kluster Biaro, kluster Makalehi, dan kluster Buhias Pahepa, merupakan langkah progresif dalam memacu percepatan pembangunan di daerah ini. Dengan pembentukan lima kluster tersebut maka dapat membantu pemerintah daerah dalam mengfokuskan kegiatan pembangunan sesuai karakteristik setiap kluster dan juga mempermudah masyarakat dalam memperoleh pelayanan publik. Lebih dari itu, karena pembentukan kluster dapat meningkatkan intensitas kegiatan pembangunan, maka akan menjadi stimulus bagi pergerakan ekonomi baik mikro maupun makro.

Persoalannya adalah apakah kriteria geografis dalam pembentukan lima kluster tersebut telah terpenuhi. Dengan kata lain, apakah efisiensi ekonomi ada dan mewujud dalam setiap kluster serta menguntungkan atau tidak. Kedekatan geografis tidak dapat dikatakan memiliki dampak positif, bila tidak membawa keuntungan ekonomis bagi setiap pulau dalam sebuah kluster dan juga keuntungan secara kumulatif sebagai dampak adanya interaksi antar kluster. Istilah kluster tidak hanya dipahami dalam bahasa sederhana, atau hanya dipahami sebagai kelompok atau pengelompokkan, tapi juga dipahami sebagai bagian dari sebuah proses untuk kemajuan secara ekonomi.

Kebijakan pengembangan wilayah melalui strategi kluster, tidak akan terlepas dari konsep tata ruang wilayah. Dalam konteks tata ruang menurut Freidmann (1998) wilayah dibagi menjadi dua, yaitu wilayah inti atau pusat (centre) dan wilayah pinggiran (periphery). Suatu wilayah akan berkembang pesat bila terdapat interaksi yang saling menguntungkan antara pusat dan pinggiran. Pengembangan kluster dapat dilakukan secara optimal bila tercipta interaksi yang saling menguntungkan antara pusat dan pinggiran di dalam sebuah kluster. Sebagai sebuah kluster, maka pusat dan pinggiran akan terbentuk secara alamiah sesuai kondisi geografisnya atau secara sengaja dibentuk melalui kebijakan pemerintah daerah dengan membangun fasilitas infrastruktur untuk kebutuhan publik di wilayah yang akan menjadi pusat. Selain itu, yang diperlukan adalah memetakan keterkaitan faktor-faktor produksi antar pulau di dalam sebuah kluster sehingga interaksi pusat-pinggiran dapat terwujud dan menguntungkan secara ekonomi.

Keterkaitan antar kluster sangatlah menentukan berkembangnya sebuah kluster. Untuk itu, hal penting yang perlu dilakukan adalah menganalisis interaksi antar kluster. Adisasmita (2005:79) mengemukakan dua bentuk interaksi antar wilayah yakni arus pergerakan faktor produksi, dan arus pertukaran komoditas. Setiap kluster memiliki karakteristik tersendiri sehingga sifat complementaris akan mendukung percepatan pembangunan di setiap kluster. Yang dibutuhkan adalah bagaimana memenej sehingga aktifitas saling melengkapi ini dapat tetap berlangsung. Keunikan setiap kluster ditandai dengan spesialisasi secara sektoral. Bila setiap kluster memiliki sektor unggulannya masing-masing, maka akan tercipta arus pergerakan faktor produksi dan arus pertukaran komoditas sebagaimana dikemukakan Adisasmita diatas. Untuk itu, prioritas pembangunan daerah adalah prioritas pembangunan setiap kluster. Artinya sektor unggulan di sebuah kluster akan menjadi prioritas pembangunan di kluster tersebut, demikian juga bagi kluster-kluster lainnya.

Disamping itu, diperlukan adanya pemerataan dalam pembangunan, diantaranya dengan mengadopsi konsep balance growth yang oleh banyak negara ditetapkan sebagai strategi pembangunannya. Balance growth atau pertumbuhan seimbang diinterpretasikan bahwa wilayah-wilayah miskin berkembang lebih cepat dari pada wilayah-wilayah kaya, sehingga tingkat pendapatannya cenderung menjadi sama pada masa depan. Pembentukan kluster tentunya juga ditujukan untuk meratakan pembangunan di seluruh pelosok daerah ini. Kluster-kluster yang cenderung lebih “miskin” dan “terpencil” seperti kluster Biaro, kluster Makalehi, dan kluster Buhias Pahepa perlu mendapatkan penanganan khusus agar laju pertumbuhannya kedepan akan sama dengan dua kluster lainnya.

Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari uraian sederhana diatas adalah pertama, kondisi geografis daerah ini membuat strategi kluster menjadi sangatlah tepat untuk dioperasionalkan, kedua, interaksi pusat-pinggiran dalam sebuah kluster perlu lebih diwujudkan baik melalui pembangunan infrastruktur maupun dengan mempermudah dan membantu dunia usaha di wilayah yang menjadi pusat, dan ketiga, adalah meningkatkan nilai tambah sektor-sektor unggulan pada setiap kluster dengan menjadikannya sebagai sektor prioritas.


Daftar Bacaan
Adisasmita Raharjo,H., 2005, Dasar-Dasar Ekonomi Wilayah, Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta.
Freidmann, J., 1998, Regional Policy: Reading ini Theory and Apllications, Cambridge, Massachusetts, the MIT press.
Hartarto, A, 2004, Strategi Clustering dalam Industrialisasi Indonesia, Penerbit Andi, Yogyakarta.
Sakuramoto, Carlos Yuji, and Di Serio, Luiz Carlos, 2004, Automotive Cluster in Brazil, Cancun, Mexico.
Porter, Michael E, 2000, Location, Competition, and Economic Development Local Clusters in a Global Economy, Economic Development Quarterly, Vol.14 No.1, Sage Publication Inc.
Schmitz,H. and Nadvi K, 1999, Clustering and Industrialization in industrial clusters in developing countries, World Development, Vol.27 No.9, Oxford.