Selasa, 15 Maret 2011

Mengapa Incumbent Kuat ?

Era demoktratisasi telah menggulirkan nuansa baru dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan maupun dinamika politik baik di tingkat pusat maupun daerah. Disamping pemilihan presiden secara langsung, juga pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung. Pemilihan legislatif juga telah didesain lebih demokratis dengan pola suara terbanyak. Sejak perubahan sistem yang lebih demokratis ini, maka fenomena politik yang menarik untuk ditelaah adalah sering menguatnya calon yang masih menjabat (presiden dan kepala daerah) atau incumbent sehingga terpilih kembali untuk periode berikutnya.

Fenomena menguatnya incumbent berlaku secara luas, tidak hanya di Indonesia. Husni Mubarak, Presiden Mesir yang baru saja turun dari tahtanya, pernah terpilih untuk yang keempat kalinya. Perolehan suaranya pada saat terpilih untuk yang keempat kalinya sangat spektakuler ; 93,79 persen dari 24 juta rakyat Mesir yang memiliki hak pilih. Hanya 6,21 persen pemilih yang tidak mendukung Mubarak. Beberapa hari sebelum terpilihnya Mubarak, Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh terpilih kembali dengan dukungan 96,3 persen dari seluruh jumlah pemilih. Lewat sebuah referendum Presiden Suriah Hafez al-Assad mengantongi 99,987 persen dari 9,1 juta pemilih. Jumlah rakyat Suriah yang memiliki hak pilih saat itu, 9.101.155 orang dan yang menggunakan hak pilihnya tercatat 8.961.147 orang. Hanya 917 suara tidak sah dan 219 orang yang tidak memilih Assad. Dengan dukungan yang begitu spektakuler itu, Assad kembali memegang jabatan presiden untuk kelima kalinya (satu kali masa jabatan adalah 7 tahun). Empat tahun sebelumnya Presiden Irak kala itu, Saddam Hussein unggul dalam referendum yang digelar untuk pertama kalinya sejak Saddam Husein berkuasa tahun 1979. Angka yang diperoleh Saddam sangat spektakuler, 99,96 persen dari 8.357.560 pemilih Irak.

Hal yang sama tak jauh berbeda dengan yang terjadi di negeri adikuasa Amerika Serikat. Walaupun menguatnya incumbent tidaklah mutlak di negara pelopor demokrasi itu, namun terpilih kembalinya Bill Clinton ditengah cemohan rakyat atas skandal seks-nya dengan Monica Lewinsky memberikan indikasi bahwa incumbent memiliki peluang yang lebih besar ketimbang calon lainnya. Pun demikian dengan George W. Bush sebelum digantikan Barack Hussein Obama, ia terpilih kembali untuk periode kedua ditengah panasnya gejolak perang Irak.

Di Indonesia, saya yakin apabila referendum dilaksanakan pada era Bung Karno maupun Pak Harto, perolehan suara keduanya tak akan jauh berbeda dengan yang diperoleh Husni Mubarak di Mesir, Ali Abdullah Saleh di Yaman, Hafez al-Assad di Suriah, dan Saddam Hussein di Irak. Sayang di era itu kita belum mengenal pemilihan secara langsung atau referendum. Sedangkan Gus Dur dan Ibu Mega tidak lahir dari proses pemilihan langsung, tapi berada pada masa transisi politik menuju pelaksanaan demokratisasi. Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah awal pelaksanaan demokrasi yang sesungguhnya di Indonesia. Dan kemenangannya dalam pilpres tahun 2009 untuk melanjutkan kepemimpinan nasional pada periode kedua lebih memperkuat asumsi bahwa calon incumbent lebih unggul dari yang lainnya.

Pemilihan Kepala Daerah pun diwarnai dengan banyaknya kepala daerah baik Gubernur maupun Bupati/Walikota terpilih kembali untuk periode berikutnya. Lebih dari 80 persen rakyat Gorontalo memberikan suaranya kepada Fadel Muhammad sehingga membawa sang Gubernur terpilih kembali untuk menakhodai daerah penghasil Jagung itu walaupun kemudian ia direkrut Presiden SBY menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan. Di Sumatera Selatan, Alex Nurdin mengungguli lawan-lawannya menuju kursi Gubernur setelah ia sukses meraih Kursi Bupati Musi Banyuasin untuk periode yang kedua.Di Sumatera Barat, Gamawan Fausi yang saat ini menjabat Menteri Dalam Negeri adalah bekas Gubernur dan menjabat dua periode Bupati Solok. Di Sulawesi Utara, tercatat Bupati Bolaang Mangondow Marlina Moha Siahaan, Bupati Talaud Elly Engelbert Lasut, Bupati Sangihe Winsulangi Salindeho, Bupati Minahasa Selatan Ramoy Markus Luntungan, Bupati Minahasa Stevanus Vreke Runtu, Walikota Bitung Hani Sondakh, Walikota Tomohon Jefferson Rumayar, dan yang terakhir Gubernur Sulawesi Utara Sinyo Harry Sarundayang, masing-masing melenggang mulus menuju tahtanya yang telah dipegang pada 5 tahun sebelumnya.

Fenomena apa yang terjadi ? Mengapa incumbent begitu tangguh dan sulit dilawan ? Saya tak ingin terjebak dalam penjelasan-penjelasan pragmatis, tapi sensitif dengan opini-opini jalanan diantaranya terkait dengan uang, pengaruh kekuasaan, dan kharisma. Saya percaya bahwa fenomena ini tak hanya menyangkut politik, tapi merupakan suatu tatanan sosial yang terbangun dalam sebuah sistem. Saya juga percaya bahwa isu dasar teori-teori sosial adalah hubungan antara ekonomi dan politik. Isu ini memiliki banyak penjelasan maupun aspek normatif. Ia mengangkat pernyataan tentang bagaimana dua proses berhubungan dan tentang bagaimana mereka harus dihubungkan.

Saya ingin mengawali analisis ini dengan suatu asumsi yang lazim yakni bahwa manusia adalah makluk yang egois, rasional, dan selalu memaksimalkan manfaat serta bertekad memahami upayanya untuk menghubungkan cara-cara dan tujuan-tujuan seefektif mungkin. Banyak ahli ekonomi politik menyebutnya sebagai pendekatan pilihan publik yang rasional (rational public choice approach). Menurut Mitchell (1968 :82) “……………….manusia memiliki sifat-sifat spesifik tertentu termasuk sekumpulan selera atau urutan preferensi dan kapasitas membuat keputusan-keputusan rasional atau kemampuan untuk memilih penyelesaian terefisien atas dilema pilihan yang dihadapinya”. Pandangan Mitchell tersebut berlaku bagi individu-individu manusia yang kemudian menjadi suatu komunitas. Pandangan ini pada prinsipnya dapat diterapkan pada berbagai situasi, termasuk pada seorang pemberi suara di bilik suara, pada seorang pembeli di supermarket, atau pilihan bibit tanaman bagi seorang petani. Staniland (2003 : 52) menulis bahwa ekonomi harus berhadapan dengan pengertian pengambilan keputusan non pasar yang utamanya berarti kegiatan-kegiatan pemerintahan. Baik Mitchell maupun Staniland telah merumuskan sebuah hubungan antara fenomena-fenomena antara ekonomi dan politik dalam konteks individu-individu atau sebuah komunitas.

Secara sederhana pandangan tersebut dapat dkemukakan bahwa orang memilih dalam TPS (Tempat Pemilihan Suara) diibaratkan sebagai orang memilih untuk membeli barang di toko / warung / supermarket / mall. Preferensi konsumen selalu merujuk pada kebiasaan. Artinya konsumen cenderung memilih barang yang sudah biasa dibeli atau digunakannya. Ia sering menghindar untuk memilih barang baru yang belum pernah dibeli sebelumnya. Hal ini terkait dengan kecenderungan konsumen untuk mengurangi resiko akan barang yang dibelinya. Hal ini terkait dengan asumsi dasar manusia yang egois, rasional, dan selalu memaksimalkan manfaat. Jadi dalam kehidupan sehari-hari, bila kita terbiasa menggunakan bedak herozine maka sulit bagi kita untuk berpaling membeli bedak purol, pixy, she, atau yang lainnya. Bila kita terbiasa menggunakan shampo sunsilk, maka sulit bagi kita untuk menggunakan emeron, clear, pantene, rejoice, atau yang lainnya.